Rabu, 04 Januari 2012

TAK MENANGIS SAAT KALAH


Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa empat orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang mereka miliki. Semuanya buatan sendiri sebab memang begitulah peraturannya.
            Ada seorang anak yang bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, tetapi ia termasuk dalam empat anak yang masuk final. Disbanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan ksedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
            Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap empat mobil, dengan empat “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan empat jalur terpisah di antaranya. Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa.
            Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap.” Dor. Tanda telah dimulai. Dengan satu entakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
            “Ayo… ayo…, cepat… cepat, maju… maju.” Begitu teriak mereka. Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Ternyata… Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih, Tuhan.”
            Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”
            Mark terdiam. “Ya, benar, tapi bukan doa meminta kemenangan yang aku panjatkan,” kata Mark. Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta kepada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku hanya bermohon kepada Tuhan, supaya aku tak menangis jika aku kalah.”
            Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
             Mark tampaknya lebih punya kebijaksanaan disbanding kita semua. Mark tidaklah bermohon kepada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang dan menyakiti yang lainnya.
            Namun, Mark bermohon pada Tuhan agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa agar diberikan kemuliaan dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga. Mungkin telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa kepada Tuhan agar mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa kepada Tuhan untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata.
            Sesungguhnya, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya? Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Kita harus yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng, dan mudah menyerah.
            Jadi, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian. Berdoalah agar kita selalu dalam lindungan-Nya saat menghadapi ujian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar