Selasa, 03 Januari 2012

KEN AROK DAN KEN DEDES


            Kesunyian malam yang pekat dengan iringan desiran angin sepoi dan suara dari serangga-serangga malam, tak membuat tekad Ken Endok untuk membuang bayinya menjadi surut. Dengan berjalan mengendap-endap melintasi pekarangan para tetangganya yang sedang tertidur pulas, ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri di sepanjang tepi Sungai Brantas di Desa Pangkur, kawasan kekuasaan Tumapel (utara Kota Malang sekarang) yang melihatnya. Ia berharap jangan sampai orok (janin yang baru dilahirkan) yang dimasukkan ke dalam bantalan itu terlihat orang.
            Dalam usahanya itu, tentu, Ken Endok menghindari melintasi jalanan umum, karena barangkali ada warga penduduk yang melakukan ronda di malam hari. Maklum, pada saat itu kerap kali terdengar kawanan berandal beraksi di kawasan Tumapel yang masih dibawah kekuasaan Kerajaan Kediri. Ketika ia berhasil melintasi pekarangan rumah penduduk dan tak ada yang melihatnya, ia berujar dalam hatinya, “Selamat . . . selamat . . . .”
            Ia, yang baru saja melahirkan si jabang bayi dari rahimnya, tanpa suami disampingnya, merasa sangat berat menanggung aib itu. Dengan darah yang masih menetes dari rahimnya hingga menciprati bagian jarit (kain penutup) yang dikenakannya, ia terus melangkahkan kakinya menuju pekuburan umum untuk membuang bayinya, Ken Arok alias Ken Angrok. Ken Endok benar-benar tak punya pilihan lain kkecuali membuang bayinya daripada ia menanggung rasa malu yang luar biasa.
            Dalam kesendiriannya menyusuri jalanan pekat, Ken Endok membayangkan kepergian suaminya untuk selamanya, Gajah Para, sebelum kelahiran si jabang bayi. Meski demikian, Ken Endok tetap tak memungkiri bahwa si jabang bayi yang terlahir dari rahimnya itu bukanlah benih dari suaminya yang mati secara mengenaskan pada suatu malam. Ya, suaminya, Gajah Para telah ditikam oleh seseorang yang tak dikenal, sehingga ia mati secara misterius. Bahkan, kematiannya sama sekali tak terungkap oleh warga kampong, termasuk para prajurit (petugas keamanan) Tumapel sekalipun.
            “Wahai Kakang Gajah Para, suamiku tercinta, andaikan engkau tidak tewas secara nyalawedi (misterius) di malam itu, tentu aku masih sanggup menanggung beban berat ini, meskipun si jabang bayi ini bukanlah anakmu,” demikian Ken Endok bergumam dalam hati.
            Sambil tertatih-tatih membawa buntalan berisi si jabang bayi dalam gendongannya, sesekali Ken Endok berjalan sempoyongan, bahkan tak jarang ia terjatuh. Maklumlah jalanan yang ia lewati bukan jalanan umum, sehingga kakinya sering menyandung bebatuan atau tunggak pohon. Meski demikian, ia tak sempat mengaduh atau merintih yang mengeluarkan suara, sehingga bisa terdengar atau ketahuan orang. Ia merahasiakan dan menjaga benar agar perjalanannya malam itu tak diketahui seorang prajurit pun jua.
            Namun, seraya terus berjalan, bagaimanapun juga Ken Endok tetap tak bisa melupakan bayangan sosok rupawan yang telah memikat hatinya disaat ia telah menjadi istri Gajah Para, perempuan mana yang tak tertarikoleh rayuan lembut dari belaian tangan halus yang mengisyaratkan bahwa ia adalah seorang kesatria dari kerajaan. Bahkan, karena saking misteriusnya pria rupawan itu, Ken Endok pun saat itu membayangkan bahwa ia adalah seorang Dewa Batara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar